Peristiwa yang tidak pernah terlupakan ini terjadi pada saat aku baru duduk di bangku kelas 2 SMU, di sebuah kota yang sangat terkenal toleransi kehidupan beragamanya. Manado, Sulawesi Utara.
Sebenarnya aku bukan asli penduduk kota itu. Tapi karena pekerjaan orang tuaku sebagai Anggota TNI, aku dan adik-adikku menghabiskan masa kecil dan remaja di kota yang penuh kenangan mengesankan itu.
Hari itu menjelang magrib. Aku dan teman-temanku sedang berbincang-bincang di emperan masjid. Tiba-tiba, kami mendapat kabar Tante Armi (Nama Samaran) telah meninggal dunia.
Tante Armi memang telah lama menderita penyakit paru-paru kronis. Sebagai bagian dari remaja masjid, kami segera mengambil inisiatif untuk mempersiapkan segala sesuatu yang berkaitan dengan acara pemakaman.
Hingga keesok harinya, sesuai waktu yang ditentukan, aku dan teman-teman berangkat ke rumah duka dengan membawa berbagai perlengkapan yang telah kami persiapkan sejak malam hari. Walaupun jarak masjid dan rumah duka hampir 3 kilo meter jauhnya, kami tetap bersemangat berjalan kaki menuju rumah duka.
Selesai acara demi acara, kini tiba saatnya jenazah akan diberangkatkan ke tempat pemakaman umum yang jaraknya lumayan jauh. Tanpa diperintah, kami berenam langsung mengambil posisi sebagai petugas pengangkut jenazah.
Awalnya sih enteng-enteng saja. Tetapi setelah hampir 15 menit mengusung keranda, pundakku terasa berat sekali. Apalagi saat jenazah mulai memasuki areal pemakaman yang jalannya agak menanjak. Aku yang berada diposisi paling belakang merasakan paling berat.
Entah apa yang ada dalam pikiranku, tanpa sengaja aku nyeletuk, "Tante Armi kurus kok jenazahnya berat amat sih?" Teman-teman yang mendengar keluhanku langsung mengingatkan aku agar tidak bicara sembarangan.
Sebenarnya sih, aku bisa minta gantian dengan teman lain untuk menganti posisiku, tetapi karena aku melihat teman-teman yang lain masih bersemangat, malu juga untuk minta gantian. Setelah prosesi pemakaman selesai, aku dan teman-teman mohon pamit dan langsung pulang. Entah mengapa, saat berjalan aku kembali mengulangi ucapanku. "Kok mayatnya Tante Armi rasanya berat banget ya?" Omelku.
Ucapanku langsung ditanggapi oleh teman-teman yang lain. Ternyata bukan aku saja yang merasa berat, keenam temanku juga merasakan hal yang sama. Walaupun demikian, saat mengusung keranda, mereka tidak berani berkomentar macam-macam.
Tiga hari setelah pemakaman, terjadilah peristiwa yang tidak pernah bisa kulupakan. Peristiwanya berawal saat kami janjian untuk bertemu di perempatan jalan. Sudah jadi kebiasaan kami, setiap minggu subuh berolah raga lari pagi.
Tapi, keanehan telah terjadi. Entah apa yang terjadi, saat itu aku merasa hari sudah subuh. Tanpa membuang waktu, aku langsung memakai sepatu dan baju olahraga yang telah aku siapkan. Dengan berjalan perlahan-lahan aku membuka pintu, selanjutnya pintu aku tutup. Setelah melempar anak kunci melalui celah yang ada dibawahnya, aku langsung menuju perempatan jalan tempat kami janjian untuk bertemu.
Mungkin karena saat itu bulan bersinar sangat terang, aku merasa datang terlambat. Dari kejauhan di perempatan jalan aku melihat ada orang berbaju putih sedang berdiri. Aku tak punya pikiran apa-apa. Aku yakin, orang itu pasti adalah ibu-ibu yang hendak belanja ke pasar.
Melihat ada orang, sambil berlari-lari kecil, aku hampiri ibu itu. Anehnya, saat aku dekati, tiba-tiba si ibu mengeluarkan suara batuk-batuk yang sangat keras. Semakin aku dekati, suara batuknya semakin sering dan keras.
Ketika jarakku dan ibu itu berdiri kurang lebih lima meter, sosok si ibu berbalik ke arahku dengan batuk yang lebih keras lagi. Dan betapa terkejutnya aku. Wajah itu sangat kukenal. Dengan tatapan mata tajam, dia memandangku. Sambil gelagapan, walaupun diliputi rasa takut yang sangat luar biasa, masih juga aku bisa bicara. "Tan…tan…te…Ar…mi kan sudah mati?" Suaraku terbata-bata.
Aku tak kuat menatap wajahnya yang mengerikan. Kakiku terasa berat dan sulit untuk melangkah. Rasanya ada kekuatan yang memegang kakiku. Syukurlah, dengan Istighfar yang ku sebut berkali-kali, kakiku mulai bisa digerakkan. Setelah bisa mundur beberapa langkah, akhirnya aku berbalik mengambil jurus langkah seribu bagaikan Roberto Carlos.
Dengan takut tak terhingga, kugedor-gedor pintu rumahku. Sambil sesekali memandang ke belakang, jangan-jangan Tante Armi masih ada. Karena pintu kugedor-gedor, Bapak membukanya dengan agak kesal. Mungkin tidur beliau agak terganggu karena tindakku. Tapi karena melihat wajahku yang pucat pasi, beliau tidak meneruskan marahnya dan mencoba mendapat keterangan atas tindakanku itu.
Setelah diberi minum segelas air putih, barulah aku dapat bercerita tentang pengalaman menegangkan yang baru saja kualami. Bapak hanya tersenyum sambil mengingatkanku untuk tidak takut jika mengalami kejadian-kejadian seperti itu. Tapi jujur saja, rasanya insan yang mana saja pasti akan takut kalau mengalami hal seperti ini.
Cerita ini juga kusampaikan kepada teman-teman saat mereka mau sama-sama marah, karena disangka aku tidak tepati janji untuk lari pagi bersama. Beberapa saat mereka tertegun, tapi akhirnya aku menjadi bahan ledekan teman-teman.
Oleh: Keneldi
0 komentar:
Post a Comment